Laman

Kamis, 27 September 2012

CARA MENGENDALIKAN HAMA TIKUS SAWAH

9 CARA MENGENDALIKAN HAMA TIKUS SAWAH

Tikus sawah merupakan hama penting tanaman padi yang tiap tahun serangannya lebih dari 17 % dari total luas arel padi. Hal ini disebabkan karena pengendalian hama tikus oleh petani selalu terlambat karena mereka mengendalikan setelah terjadi serangan dan kurangnya monitoring oleh petani.
Pemahaman petani mengenai informasi aspek dinamika populasi tikus, yang menjadi dasar dalam pengendalian juga masih kurang. Kecenderungan petani masih kurang peduli dalam menyediakan sarana pengendalian tikus, organisasi pengendalian yang masih lemah, dan pelaksanaan pengendalian yang tidak berkelanjutan dapat mengakibatkan meningkatnya hama tikus sawah.
Tidak kalah penting adalah masih banyak petani yang mempunyai ”persepsi mistis”. Di lingkungan masyarakat ..., biasanya bila petani melihat tikus, tidak boleh menyebut tikus tetapi disebutnya ”den bagus”. Padahal, pada hakekatnya hal tersebut dapat menghambat dalam usaha pengendalian tikus itu sendiri.
Melihat kondisi di atas, maka perlu Pengendalian Hama Tikus Terpadu (PHTT). Strategi PHTT dilaksanakan berdasarkan pemahaman ekologi tikus, dilakukan secara dini, intensif dan terus menerus (berkelanjutan) dengan memanfaatkan berbagai teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Disamping itu kegiatan pengendalian diprioritaskan pada waktu sebelum tanam (pengenalian dini), untuk menurunkan populasi tikus serendah mungkin sebelum terjadi perkembangbiakan tikus yang cepat pada stadium generataif padi; dan pelaksanaan pengenalian dilkukan olehpetani secara bersama-sama (berkelompok) dan terkoordinasi dalam cakupan skala luas (hamparan).
Setidaknya ada sembilan cara pengendalian hama tikus sawah:
  1. Tanam dan panen serempak. Dalam satu hamparan, diusahakan selisih waktu tanam dan panen tidak lebih dari 2 minggu. Hal tersebut untuk membatasi tersedianya pakan padi generatif, sehingga tidak terjadi perkembangbiakan tikus yang terus menerus.
  2. Sanitasi habitat. Dilakukan selama musim tanam padi, yaitu dengan cara membersihkan gulma dan semak-semak pada habitat utama tikus yang meliputi tanggul irigasi, jalan sawah, batas perkampungan, pematang, parit, saluran irigasi, dll. Juga dilakukan minimalisasi ukuran pematang (tinggi dan lebat pematang) kurang 30 cm agar tidak digunakan sebagai tempat bersarang.
  3. Gerakan bersama (gropyokan massal). Gerakan ini dilakukan serentak pada awal tanam melibatkan seluruh petani. Gunakan berbagai cara untuk menangkap/membunuh tikus seperti penggalian sarang, pemukulan, penjeratan, pengoboran malam, perburuan dengan anjing, dan sebagainya.
  4. Fumugasi/pengemposan. Fumigasi dapat efektif membunuh tikus dewasa beserta anak-anaknya di dalam sarang. Agar tikus mati, tutuplah lubang tikus dengan lumpur setelah difumigasi dan sarang tidak perlu dibongkar. Lakukan fumigasi selama masih dijumpai sarang tikus terutama pada stadium generatif padi.
  5. Trap Barrier System (TBS). TBS dengan tanaman perangkap diterapkan terutama di daerah endemik tikus dengan pola tanam serempak. TBS berukuran 20 x 20 m dapat mengamankan tanaman padi dari serangan tikus seluas 15 ha.
  6. Linier Trap Barrier System (LTBS). LTBS berupa bentangan pagar plastik/terpal setinggi 60 cm, ditegakkan dengan ajir bambu setiap jarak 1 m, dilengkapi bubu perangkap setiap jarak 20 m dengan pintu masuk tikus berselang-seling arah. LTBS dipasang di daerah perbatasan habitat tikus atau pada saat ada migrasi tikus. Pemasangan dipindahkan setelah tidak ada lagi tangkapan tikus atau sekurang-kurangnya di pasang selama 3 malam.
  7. Memanfaatan musuh alami. Cara termudah ini adalah dengan tidak mengganggu atau membunuh musuh alami tikus sawah, khususnya pemangsa, seperti burung hantu, burung elang, kucing, anjing, ular tikus, dan lain-lain.
  8. Rodentisida, yang merupakan cara kedelapan ini, digunakan hanya apabila populasi tikus sangat tinggi terutama pada saat bera atau awal tanam. Penggunaan rodentisida harus sesuai dosis anjuran. Umpan ditempatkan di habitat utama tikus, seperti tanggul irigasi, jalan sawah, pematang besar, atau tepi perkampungan.
  9. Cara pengendalian lokal lainnya dengan memanfaatkan cara pengendalian tikus yang biasa digunakan petani setempat, seperti penggenangan sarang tikus, penjaringan, pemerangkapan, bunyi-bunyian, dan cara-cara lainnya.
Tikus yang telah terbunuh/tertangkap hanya merupakan indikasi turunnya populasi. Yang perlu diwaspadai adalah populasi tikus yang masih hidup, karena akan terus berkembang biak dengan pesat selama musim tanam padi.
Disamping itu monitoring keberadaan dan aktivitas tikus sangat penting diketahui sejak dini agar usaha pengendalian dapat berhasil. Cara monitoring antara lain dengan melihat lubang aktif, jejak tikus, jalur jalan tikus, kotoran atau gejala kerusakan tanaman. Dan tidak kalah pentingnya adalah mewaspadai terhadap kemungkinan terjadinya migrasi (perpindahan tikus) secara tiba-tiba dari daerah lain dalam jumlah yang besar.

Cara Mengendalikan Hama Tikus

Upaya pengendalian hama tikus yang umum dilakukan adalah : pengemposan, pemberian racun, gropyokan, perangkap, dan penggunaan musuh alami. Berikut akan diuraikan tentang beberapa cara pengendalian hama tikus :
1. Pengemposan
Pengemposan dilakukan dengan cara memberikan asap belerang pada lubang-lubang tikus dengan tujuan agar tikus yang berada dalam lubang tersebut keracunan yang pada akhirnya akan mati. Cara ini cukup efektif dalam mengendalikan hama tikus secara langsung. Namun bila lokasi tikus berada jauh di dalam sedangkan gas belerang yang dimasukkan tidak mencapainya, cara ini tidak akan berhasil. Selain itu cara pengemposan ini cukup mahal.
2. Pemberian Racun
Penggunaan Racun adalah cara yang paling banyak digunakan petani dalam mengendalikan tikus. Penggunaan racun ini dilakukan dengan memberikan rodentisida pada makanan tikus sebagai umpan,penggunaan racun ini selain kurang efektif karena jika ada tanaman padi tikus sudah malas makan umpan dan juga akan membunuh musuh alami yang memakan tikus ini.
3. Perangkap
Banyak alat-alat yang dapat dirancang untuk menangkap tikus. Dengan menggunakan perangkap ini selain murah, juga aman bagi manusia maupun bagi musuh alaminya. Namun demikian, pemakaian alat perangkap ini harus memperhatikan jenis umpan yang digunakan. Terkadang tikus jeli terhadap suatu umpan atau hapal pada suatu jebakan. Oleh kerana itu diperlukan adanya variasi umpan dan jebakan yang tidak mudah dihapal tikus. Penggunaan umpan yang mencolok seperti ubi-ubian yang dipasang pada tanaman palawija yang belum menghasilkan umbi akan menarik perhatian tikus. Beberapa perangkap tikus yang sering digunakan antara lain : perangkap kawat, perangkap jepit, jala kremat, lubang bambu, dan lain-lain.
4. Gropyokan
Gropyokan adalah gerakan pembasmian hama yang dilakukan secara massal dengan cara pemburuan bersama-sama. Pengendalian gropyokan melibatkan seluruh masyarakat. Sistem gropyokan ini lebih efektif bila hasil tangkapannya dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain atau ada upah bagi yang menangkap hama. Pemanfaatan hasil tangkapan merupakan salah satu faktor yang dapat memotivasi semaraknya sistem gropyokan. Hama tikus yang berhasil ditangkap dapat dimanfaatkan kulitnya untuk menjadi bahan kulit. Sayangnya di Indonesia sistem gropyokan hanya dilakukan pada awal-awal tanam atau saat tertentu saja 

 (klik link dibawah ini untuk melanjutkan membaca langsung dari sumbernya),
 

TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA KEONGMAS

  TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA KEONGMAS

Tanaman padi merupakan salah satu komoditas pangan yang harus terpenuhi kecukupannya untuk menunjang kelangsungan hidup sebahagian besar penduduk Indonesia. Salah satu upaya untuk mempertahankan kecukupan pangan adalah melalui pengendalian faktor-faktor pembatas. Salah satu faktor pembatas yang penting adalah serangan hama penyakit.
Keongmas merupakan salah satu hama penting pada tanaman padi di Indonesia. Di Daerah Istimewa Aceh misalnya, keongmas telah menjadi hama utama, terutama pada areal sawah beririgasi. Tingkat serangan hama tersebut pun tergolong cukup tinggi. Serangan berat umumnya terjadi di persemaian sampai tanaman berumur dibawah 4 MST. Pada tanaman dewasa, gangguan keongmas hanya terjadi pada anakan sehingga jurnlah anakan produktif menjadi berkurang.
Perkembangan hama ini sangat cepat, dari telur hingga menetas hanya butuh waktu 7-4 hari. Disamping itu, satu ekor keongmas betina mampu menghasilkan 15 kelompok lelur selama satu siklus hidup (60-80 hari), dan masing-masing kelompok telur berisi 300-500 butir. Seekor keongmas dewasa mampu menghasilkan 1000-1200 telur per bulan.
Hama keongmas termasuk sulit untuk dibasmi secara tuntas. Bila pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida, keongmas memang dapat terbunuh, tetapi cangkang atau rumahnya akan tertinggal di dalam tanah dan menimbulkan masalah bagi petani yaitu melukai telapak kaki apabila petani masuk ke areal sawah, sehingga petani perlu kegiatan tambahan untuk mengumpulkan cangkang di areal yang telah diberi pestisida.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan (tahun 1999 dan 2000) menunjukkan bahwa pengendalian dengan bahan kimia, biologi, dan mekanik secara statistik tidak berbeda nyata. Hasil kajian terhadap lingkungan, kepraktisan kerja, mudah dilaksanakan, dan murah, maka pengendalian keongmas dianjurkan dengan cara pemungutan berkala (seminggu 3 kali), pemberian umpan perangkap, pemasangan perangkap telur, dan pelepasan itik ke lahan sawah. Beberapa cara pengendalian di atas, mampu mengendalikan perkembangan hama ini sehingga tidak menimbulkan kerusakan terhadap tanaman padi, dan populasinya di bawah ambang ekonomi. Dibawah ini adalah beberapa teknologi pengendalian hama keongmas yang dianjurkan:

1.      Pemasangan Perangkap Telur dan Pemungutan secara Berkala
            Usaha pengendalian hama keongmas merupakan salah proses dengan tujuan menekan populasi hama sekecil mungkin ataupun penekanan sampai di bawah batas ambang kerusakan ekonomi. Salah satu  teknologi pengendalian yang telah dianggap efektif, murah dan dapat dilaksanakan oleh petani serta berwawasan lingkungan adalah pengendalian dengan menggunakan tiang-tiang perangkap telur dan pemungutan hama secara berkala (3 kali seminggu) sampai umur padi  4 minggu setelah tanam.
Tiang perangkap telur dapat digunakan dari bahan kayu, bambu, pelepah rumbia, atau ranting-ranting kayu. Panjang tiang perangkap tersebut berkisar antara 1-1,5 meter dengan diameternya sekitar 1-3 cm atau lebih. Tiang perangkap ditancapkan dalam petakan sawah pada kawasan jarak pematang antara 1-3 meter dan jarak antar tiang perangkap telur 3 meter. Jumlah tiang perangkap telur tidak terbatas, sehingga makin banyak tiang perangkap telur dipasang, maka diharapkan makin banyak pula kelompok telur yang diletakkan. Telur yang ada pada tiang perangkap dibuang secara berkala (seminggu sampai dua kali) dengan cara melepaskannya dari tiang perangkap dan selanjutnya dibenamkan ke dalam air atau lumpur.
Satu kelompok telur yang dimusnahkan sama artinya dengan pemusnahan 300-500 keongmas apabila kelompok telur tersebut berhasil menetas. Pembuangan kelompok telur keongmas dilakukan secara rutin sehinga perkembangannya secara lambat laun dapat ditekan, sehingga populasi hama ini selalu berada pada tingkat yang tidak menimbulkan kerusakan secara ekonomi. Dalam usaha pengendalian tersebut sangat diharapkan dilakukan secara serentak dalam kelompok, karena bila dilakukan secara individu pengendalian cara ini tidak banyak memberi arti. Telah diketahui bahwa hama ini bermigrasi melalui air irigasi dan masuk ke petak sawah melalui pintu-pintu air sehingga perkembangannya akan pesat kembali. Perkembangan hama ini sangat cepat, dari telur hingga menetas hanya butuh waktu 7-14 hari. Artinya, dalam tenggang waktu satu minggu, hama ini telah banyak kembali walaupun pada tahap tersebut hama ini masih dianggap berukuran kecil tetapi beberapa minggu kemudian serangannya sangat ganas.

2.      Pemberian Umpan Perangkap dan Pemungutan secara Berkala
            Pengendalian dengan umpan perangkap serta dikombinasikan dengan pemungutan keongmas secara berkala baik di areal sawah maupun pada umpan perangkap merupakan salah satu cara yang juga dapat menekan populasi hama tersebut. Apalagi pemberian umpan perangkap dan clikombinasikan pula dengan pemasangan perangkap telur sangat besar pengaruhnya terhadap penekanan populasi hama keongmas. Umpan perangkap keongmas dapat menggunakan daun, tangkai, dan batang pepaya, daun kuda-kuda (on geureundong pageu), dan lain-lain. Makanan perangkap tersebut diletakkan secara berjejer di dalam petakan sawah baik sebelum tanam maupun setelah ditanami padi sampai padi berumur 5 minggu setelah tanam. Hal ini tergantung pada banyaknya keongmas yang terdapat di petakan sawah. Jarak antara umpan perangkap dengan yang lain antara lain l-2 meter banyaknya umpan perangkap yang diberikan tergantung pada persedian umpan dan populasi hama tersebut. Untuk memudahkan pemungutan, umpan perangkap sebaiknya ditempatkan dekat dengan pematang.
Makin banyak pemberian umpan perangkap lebih sehingga hama tersebut akan berkumpul pada umpan perang dan lebih mudah dipungut. Selanjutnya keongmas yang terdapat pada umpan perangkap dipungut dan dibuang secara berakala. Sangat dianjurkan keongmas hasil pungutan tersebut diberikan sebagai tambahan pakan itik. Untuk meningkatkan efektifitas pengendalian perlu pula dikombinasikan dengan pemasangan perangkap telur, sehingga keongmas dan kelompok telur menempel baik pada tiang atau di tempat lain segera di dengan demikian kombinasi perlakuan tersebut akan menjadi efektif.

3.      Pelepasan Itik di Areal Sawah
Pengendalian cara ini merupakan pengendalian alamiah dimana itik dilepaskan ke areal sawah setelah ditanami padi dengan tanaman berumur 45 hari setelah tanam. Itik dapat mengendalikan hama keongmas sehingga tidak merusak tanaman. Untuk meningkatkan efektivitas pengendalian, areal sawah dibuat macak-macak sampai tergenang dengan ketinggian air 5 cm. Itik dilepaskan ke areal sawah dan selanjutnya akan memangsa keongmas (ukuran kecil dan sedang) serta membunuh keong besar. Dalam satu hektar dapat dilepaskan itik sekitar 25 ekor lebih. Pelepasan itik dilakukan pagi dan sore hari. Sesungguhnya pelepasan itik ke lahan sawah memberi manfaat ganda. Pertama perkembangan keongmas dan hama-hama lain dapat terkendali dan ke dua, dapat memperbaiki aerasi di sekitar perakaran Keadaan tersebut dapat memperbanyak anakan produktif produksi tanaman menjadi lebih banyak.


PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN SECARA TERPADU


http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/berita/info-aktual/512-pengendalian-hpt



PTT (PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU) PADI SAWAH

PTT (PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU) PADI SAWAH

PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) Padi sawah
Budidaya Padi Melalui PTT
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah merupakan sebuah inovasi untuk menunjang peningkatan produksi padi. Hal ini dilatarbelakangi karena beras sebagai bahan pangan yang berasal dari padi merupakan bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sebagai bahan pangan pokok utama padi memegang posisi yang strategis untuk dikembangkan.

PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah adalah suatu pendekatan inovatif dalam upaya peningkatan efisiensi usaha tani padi sawah dengan menggabungkan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang dan dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak agar memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman.
Pengelolaan Tanaman Terpadu atau PTT padi sawah bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dari segi hasil dan kualitas melalui penerapan teknologi yang cocok dengan kondisi setempat (spesifik lokasi) serta menjaga kelestarian lingkungan. Dengan meningkatnya hasil produksi diharapkan pendapatan petani akan meningkat.
Sebagai salah satu upaya maupun inovasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah didasarkan pada empat prinsip, yaitu :
  • Terpadu ; bukan merupakan teknologi maupun paket teknologi tetapi merupakan suatu pendekatan agar sumberdaya tanaman, tanah dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu.
  • Sinergis ; memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi.
  • Spesifik lokasi ; memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi pertanian setempat.
  • Partisipatif ; petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kemampuan petani dan kondisi setempat melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan.
Dalam penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah tidak lagi dikenal rekomendasi untuk diterapkan secara nasional karena petani secara bertahap dapat memilih sendiri komponen teknologi yang paling sesuai dengan kemampuan petani dan keadaan setempat untuk diterapkan dengan mengutamakan efisiensi biaya produksi dan komponen teknologi yang saling menunjang untuk diterapkan.

KOMPONEN TEKNOLOGI PTT PADI SAWAH
Komponen teknologi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah dirakit berdasarkan kajian kebutuhan dan peluang (KKP) yang akan mempelajari permasalahan yang dihadapi petani dan cara-cara mengatasi permasalahan tersebut dalam upaya meningkatkan produksi sehingga komponen teknologi yang dipilih akan sesuai dengan kebutuhan setempat.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menyediakan beberapa pilihan komponen teknologi yang dikelompokkan menjadi komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan.
Komponen teknologi dasar adalah sekumpulan teknologi yang dianjurkan untuk diterapkan semuanya sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi dengan input yang efisien sebagaimana menjadi tujuan dari PTT. Komponen teknologi dasar PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah meliputi :
  • Penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan bernilai ekonomi tinggi yang sesuai dengan karakteristik lahan, lingkungan dan keinginan petani
  • Benih bermutu dan berlabel/bersertifikat
  • Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah
  • Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT).
Sedangkan komponen teknologi pilihan adalah teknologi-teknologi penunjang yang tidak mutlak harus diterapkan tetapi lebih didasarkan pada spesifik lokasi maupun kearifan lokal dan telah terbukti serta berpotensi meningkatkan produktivitas. Secara spesifik lokasi dan kearifan lokal komponen teknologi ini dapat diperoleh dari sumber daya alam yang tersedia ataupun dari pengalaman petani sendiri. Komponen teknologi pilihan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah meliputi :
  • Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam
  • Penggunaan bibit muda (< 21 HSS)
  • Tanam dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 1 – 3 bibit perlubang
  • Pengaturan populasi tanaman secara optimum (jajar legowo)
  • Pemberian bahan organik berupa kompos atau pupuk kandang serta pengembalian jerami ke sawah sebagai pupuk dan pembenah tanah
  • Pengairan berselang (intermiten irrigation) secara efektif dan efisien
  • Pengendalian gulma dengan landak atau gasrok
  • Panen dan penanganan pasca panen yang tepat.
Perpaduan komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan produktivitas padi dengan didasarkan pada pendekatan yang partisipatif.

TEKNIS PELAKSANAAN PTT PADI SAWAH
Berikut akan diuraikan teknis budidaya padi sawah melalui pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) dengan menggabungkan komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan.
A. Pengolahan Tanah Sesuai Musim dan Pola Tanam
Pengolahan tanah dapat dilakukan secara sempurna dengan dua kali pembajakan dan satu kali garu atau minimal, atau tanpa olah tanah. Pemilihan cara yang akan dilakukan disesuaikan dengan keperluan dan kondisi. Faktor yang menentukan adalah kemarau panjang, pola tanam dan jenis/struktur tanah.
Dua minggu sebelum pengolahan tanah, taburkan bahan organik secara merata di atas hamparan sawah. Bahan organik yang digunakan dapat berupa pupuk kandang (2 ton/ha) atau kompos jerami (5 ton/ha).
B. Varietas Unggul
Dalam PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah pemilihan varietas merupakan salah satu komponen utama yang mampu meningkatkan produktivitas padi. Varietas padi yang akan ditanam dipilih varietas unggul baru (VUB) yang mampu beradaptasi dengan lingkungan untuk menjamin pertumbuhan tanaman yang baik, tahan serangan penyakit, berdaya hasil dan bernilai jual tinggi serta memiliki kualitas rasa yang dapat diterima pasar.
Varietas unggul baru (VUB) dapat berupa padi inbrida seperti ciherang, mekongga, inpari (10, 11,13) atau hibrida seperti rokan, hipa 3, bernas super dan intani. Tanam varietas unggul baru ini secara bergantian untuk memutus siklus hidup hama dan penyakit.
C. Benih Bermutu
Benih bermutu adalah benih dengan tingkat kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi, berukuran penuh dan seragam, daya kecambah diatas 80 % (vigor tinggi), bebas dari biji gulma, penyakit dan hama atau bahan lain. Gunakan selalu benih yang telah memiliki sertifikasi atau label untuk mendapatkan benih dengan tingkat kemurnian tinggi dan berkualitas atau benih bermutu yang diproduksi oleh petani.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan untuk menyeleksi atau memilih benih bermutu agar didapatkan benih yang benar-benar berkualitas (bernas) dan vigor tinggi dengan cara membuat larutan garam dapur (30 gram garam dapur dalam 1 liter air) atau larutan pupuk ZA (1kg pupuk ZA dalam 2,7 liter air). Benih dimasukkan ke dalam larutan garam atau pupuk ZA (volume larutan 2 kali volume benih) kemudian diaduk dan benih yang mengambang atau terapung di permukaan larutan dibuang.
Cara sederhana dapat dilakukan dengan merendam benih dalam larutan garam dapur menggunakan indikator telur. Telur mentah (bisa telur ayam atau bebek) dimasukkan ke dalam air, kemudian masukkan garam sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai telur terapung ke permukaan. Kemudian telur diambil dan benih dimasukkan ke dalam larutan garam. Benih yang mengapung dibuang dan benih yang tenggelam selanjutnya dicuci sampai bersih dari garam untuk disemai.
Untuk keperluan penanaman seluas 1 hektar benih yang dibutuhkan kurang lebih sebanyak 20 kg. Benih bernas (yang tenggelam) dibilas dengan air sampai bersih dari garam kemudian direndam dengan air bersih selama 24 jam. Selanjutnya diperam dalam karung atau wadah lainnya selama 48 jam dan dijaga kelembabannya dengan membasahi wadah dengan air.
Untuk benih padi hibrida tidak diberi perlakuan perendaman dalam larutan garam tetapi langsung direndam dalam air dan selanjutnya diperam.
Lahan persemaian untuk 1 hektar luasan lahan pertanaman sebaiknya 400 meter persegi (4% dari luas tanam) dengan lebar bedengan 1 – 1,2 meter dan antar bedengan dibuat parit sedalam 25 – 30 cm. Saat pembuatan bedengan taburkan bahan organik 2 kg /meter persegi seperti kompos, pupuk kandang atau campuran berbagai bahan antara lain kompos, pupuk kandang, serbuk kayu, abu dan sekam padi. Tujuan pemberian bahan organik ini untuk memudahkan pencabutan bibit padi sehingga kerusakan akar bisa dikurangi.
D. Sistem Tanam
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan tanam menggunakan bibit muda atau kurang dari 21 HSS (hari setelah sebar) dan jumlah bibit 1 – 3 batang per lubang karena bibit lebih muda akan menghasilkan anakan lebih banyak dibanding menggunakan bibit lebih tua.
Pada daerah endemik keong untuk mengantisipasi serangan keong dapat menggunakan bibit lebih dari 21 HSS tetapi dianjurkan tidak lebih dari 25 HSS. Masa kritis serangan keong berada pada 21 hari setelah sebar dan 10 hari setelah pindah tanam.
Tanam dilakukan dengan kondisi lahan jenuh air (ketinggian air kurang lebih 2 cm dari permukaan tanah macak-macak) dengan jumlah bibit yang ditanam tidak lebih dari 3 bibit per rumpun. Gunakan jarak tanam yang beraturan seperti model tegel 20 X 20 cm (25 rumpun/meter persegi) atau 25 X 25 cm (16 rumpun/meter persegi). Pengaturan jarak tanam dapat dilakukan dengan menggunakan caplak atau tali sebagai mal.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan untuk mengatur jarak dan populasi tanaman dengan menerapkan sistem tanam jajar legowo. Sistem tanam jajar legowo adalah sistem tanam dengan pengaturan jarak tanam tertentu sehingga pertanaman akan memiliki barisan tanaman yang diselingi oleh barisan kosong dimana jarak tanam pada barisan pinggir setengah kali jarak tanam antar barisan.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan penerapan sistem tanam jajar legowo karena adanya keuntungan dan kelebihan yang lebih dibanding dengan sistem tanam konvensional (tegel) diantaranya yaitu :
  • Adanya efek tanaman pinggir
  • Sampai batas tertentu semakin tinggi populasi tanaman semakin banyak jumlah malai persatuan luas sehingga berpeluang menaikkan hasil panen
  • Terdapat ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan keong atau mina padi
  • Pengendalian hama, penyakit dan gulma menjadi lebih mudah
  • Dengan areal pertanaman yang lebih terbuka dapat menekan hama dan penyakit
  • Penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
Sistem tanam jajar legowo yang dapat diterapkan adalah sistem tanam jajar legowo 2 : 1 atau 4 : 1 dan penyulaman tanaman dapat dilakukan sebelum tanaman berumur 14 HST (hari setelah tanam).
E. Pengairan Berselang (Intermittent Irrigation)
Pengairan dilakukan dengan sistem pengairan berselang (intermittent irrigation). Pengairan berselang adalah pengaturan kondisi sawah dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian yang bertujuan untuk :
  • Menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi lebih luas
  • Memberi kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak sehingga dapat berkembang lebih dalam karena akar yang dalam dapat menyerap unsur hara dan air yang lebih banyak
  • Mencegah timbulnya keracunan besi
  • Mencegah penimbunan asam organik dan gas hidrogen sulfida yang menghambat perkembangan akar
  • Mengaktifkan jasad renik (mikrobia tanah) yang bermanfaat
  • Mengurangi kerebahan
  • Mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif (tidak menghasilkan malai dan gabah)
  • Menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen
  • Memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah)
  • Memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran hama wereng coklat dan penggerek batang serta mengurangi kerusakan tanaman padi karena hama tikus.
Teknis penerapan pengairan berselang dilakukan pada saat tanaman berumur 3 HST (hari setelah tanam) dimana petakan sawah diairi dengan tinggi genangan 3 cm dan selama 2 hari berikutnya tidak ada penambahan air sampai kondisi air di petakan habis dan tanah mengering sedikit retak. Baru pada hari ke 4 (7 HST) petakan sawah diairi kembali hingga genangan air setinggi 3 cm dan tidak ada penambahan air sampai kondisi air dipetakan habis dan tanah menjadi mengering sedikit retak kembali. Cara ini dilakukan terus sampai fase anakan maksimal.
Pada saat mulai fase pembentukan malai (bunting) sampai pengisian biji petakan sawah digenangi terus. Petakan dikeringkan kembali saat 10 – 15 hari sebelum panen.
Pada tanah yang cepat menyerap air atau berpasir selang waktu pengairan harus diperpendek. Apabila ketersediaan air selama satu musim tanam kurang mencukupi selang waktu pengairan dapat diperpanjang yaitu dengan selang waktu 5 hari.
Pengairan berselang secara efektif dan efisien hanya dapat dilakukan pada areal sawah irigasi teknis yang dapat dengan mudah mengatur masuk dan keluarnya air pada areal persawahan. Pada sawah-sawah yang sistem drainasenya tidak baik (sulit dikeringkan) atau sawah tadah hujan pengairan berselang (intermittent irrigation) tidak perlu diterapkan.
F. Pemupukan Berimbang
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menerapkan pemupukan berimbang secara efektif dan efisien sesuai kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Pemupukan berimbang adalah pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk pupuk untuk memenuhi kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman berdasarkan tingkat hasil yang ingin dicapai dan hara yang tersedia dalam tanah. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman adalah unsur N (nitrogen ; dalam bentuk pupuk urea), P (phospat ; dalam bentuk pupuk TSP/SP36) dan K (kalium ; dalam bentuk pupuk KCL).
Kebutuhan N tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat kehijauan warna daun padi menggunakan bagan warna daun (BWD). Bagan warna daun adalah sebuah alat untuk mengukur tingkat kebutuhan N tanaman dengan mengukur skala tingkat kehijauan warna daun sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan unsur hara N tanaman.
Nilai pembacaan bagan warna daun (BWD) digunakan untuk mengoreksi dosis pupuk N yang telah ditetapkan sehingga menjadi lebih tepat sesuai dengan kondisi tanaman.
Pemberian pupuk awal N diberikan pada umur tanaman sebelum 14 HST ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah. Dosis pupuk awal N (urea) untuk padi varietas unggul baru adalah 50 – 75 kg/ha, sedangkan untuk padi tipe baru dengan dosis 100 kg/ha. Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang pemupukan kedua (tahap anakan aktif ; umur 21 – 28 HST) dan pemupukan ketiga (tahap primordia ; umur 35 – 40 HST). Khusus untuk padi hibrida dan padi tipe baru pembacaan BWD juga dilakukan pada saat tanaman dalam kondisi keluar malai dan 10 % berbunga.
Pemupukan dilakukan dengan cara disebar/ditabur merata di seluruh permukaan tanah. Urea merupakan pupuk yang mudah larut dalam air sehingga pada saat pemupukan sebaiknya saluran pemasukan dan pengeluaran air ditutup.
Pemupukan P dan K disesuaikan dengan hasil analisis status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Status hara tanah P dan K dapat ditentukan dengan perangkat uji tanah sawah (PUTS). Tiap wilayah telah memiliki dosis rekomendasi pemupukan P dan K yang berdasarkan pada uji tanah sawah yang dilakukan oleh instansi terkait (Balai Penyuluhan/Dinas Pertanian).
Terdapat tiga skala tingkatan status hara tanah P dan K pada suatu lahan sawah yaitu tinggi, sedang dan rendah sebagaimana termuat dalam tabel di bawah ini :
Rekomendasi Pemupukan P dan K
Pupuk P diberikan seluruhnya sebagai pupuk dasar atau bersamaan dengan pemupukan N yang pertama pada 0 – 14 HST. Pupuk K pada lahan sawah dengan status hara tanah P dan K rendah (dosis 100 kg/ha KCL) diberikan 50 % sebagai pupuk dasar (pemupukan pertama) dan sisanya diberikan pada masa primordia.
Pada lahan sawah dengan status hara tanah P dan K sedang – tinggi (< 50 kg KCL/ha) pupuk K diberikan seluruhnya sebagai pupuk dasar (0 – 14 HST).
G. Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma atau penyiangan adalah kegiatan membersihkan pertanaman dari rumput dan tanaman yang tidak dikehendaki keberadaannya (gulma) di areal pertanaman karena dapat mengganggu perkembangan tanaman pokok. Penyiangan dapat dilakukan dengan cara mencabut gulma dengan tangan, menggunakan alat gasrok (landak) atau menggunakan herbisida.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah lebih menganjurkan melakukan penyiangan dengan menggunakan alat gasrok karena sinergis dengan pengelolaan lainnya dan lebih memiliki keuntungan yaitu :
  • Ramah lingkungan
  • Hemat tenaga kerja sehingga lebih ekonomis dibandingkan dengan penyiangan menggunakan tangan
  • Memberikan sirkulasi udara ke dalam tanah sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman
  • Apabila dilakukan bersamaan atau segera setelah pemupukan akan membenamkan pupuk ke dalam tanah sehingga pemberian pupuk menjadi efisien.
Penyiangan menggunakan gasrok dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
  • Penyiangan dilakukan saat tanaman berumur 10 – 15 HST
  • Dianjurkan dilakukan dua kali, dimulai pada saat tanaman berumur 10 – 15 HST dan diulangi 10 – 25 hari kemudian
  • dilakukan pada kondisi air macak-macak dengan ketinggian 2 – 3 cm
  • Gulma yang terlalu dekat dengan tanaman dicabut dengan tangan
  • Dilakukan dua arah yaitu diantara dan di dalam barisan tanaman.
Pengendalian gulma atau penyiangan secara manual hanya efektif dilakukan apabila air di petakan sawah dalam kondisi macak-macak atau tanah jenuh air. Jika kondisi tidak memungkinkan dilakukan penyiangan/pengendalian gulma secara manual dan populasi gulma sudah tinggi maka pengendalian gulma dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida.
H. Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu (PHT)
Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT) merupakan suatu pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi sehingga pengendalian dilakukan agar tidak terlalu mengganggu keseimbangan alam dan tidak menimbulkan kerugian yang besar.
Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) merupakan perpaduan berbagai cara pengendalian hama dan penyakit diantaranya dengan melakukan monitoring populasi hama dan kerusakan tanaman sehingga penggunaan teknologi pengendalian dapat menjadi lebih tepat.
Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) dapat dilakukan dengan menggunakan strategi diantaranya :
  • Gunakan varietas tahan hama dan penyakit
  • Tanam tanaman yang sehat
  • Memanfaatkan musuh alami
  • Pengendalian secara mekanik (menggunakan alat) dan fisik (menangkap)
  • Penggunaan pestisida hanya jika diperlukan dan dilakukan tepat sesuai dosis, sasaran dan waktu.
I. Panen dan Pasca Panen
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah sangat memperhatikan proses penanganan panen dan pasca panen. Panen dan pasca panen harus ditangani secara baik dan benar karena penanganan panen dan pasca panen yang tidak baik dan benar dapat menyebabkan kehilangan hasil 4 – 18 %.
Untuk mendapatkan butir padi dan beras dengan kualitas baik perlu memperhatikan ketepatan waktu panen. Panen terlalu cepat dapat menimbulkan prosentase butir hijau tinggi yang berakibat sebagian butir padi tidak berisi atau rusak saat digiling. Panen terlambat menyebabkan hasil berkurang karena butir padi mudah lepas dari malai dan tercecer di sawah atau beras pecah saat digiling.
Umur tanaman padi mungkin berbeda antara varietas satu dengan varietas yang lainnya sehingga hal ini juga perlu diperhatikan. Hitung sejak padi berbunga biasanya panen dilakukan pada 30 s/d 35 hari setelah padi berbunga. Jika malai telah menguning 95 % segera lakukan pemanenan.
Panen dilakukan dengan cara memotong padi menggunakan sabit bergerigi 10 – 15 cm dari atas permukaan tanah atau dari pangkal malai jika akan dirontok dengan power thresser. Panen sebaiknya dilakukan secara berkelompok (15 – 20 orang) yang dilengkapi dengan alat perontok. Dengan cara ini maka tingkat kehilangan hasil pada saat panen dapat dikurangi.
Gunakan plastik atau terpal sebagai alas padi yang baru dipotong dan ditumpuk sebelum dirontok. Sesegera mungkin padi dirontokan, apabila panen dilakukan pada waktu pagi hari sebaiknya sore harinya segera dirontokkan karena perontokkan yang dilakukan lebih dari dua hari dapat menyebabkan kerusakan beras.
Perlu diperhatikan juga jika perontokkan padi dilakukan dengan cara tradisional (di-gepyok) maka gunakan alas dari plastik atau terpal yang lebarnya mencukupi dan bagian pinggir plastik atau terpal dilipat keatas yang berfungsi sebagai dinding untuk menahan butir padi terlempar keluar dari alas sehingga dapat mengurangi kehilangan hasil.
Proses selanjutnya adalah penanganan pasca panen. Gabah yang sudah dirontokkan dijemur di atas lantai jemur atau jika tidak ada bisa menggunakan terpal. Gabah dijemur dengan ketebalan 5 – 7 cm dan dilakukan pembalikan setiap 2 jam sekali hingga kering. Gabah kering jika tidak langsung digiling harus disimpan di tempat yang bersih dalam lumbung/gudang yang bebas hama dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Gabah yang akan dikonsumsi agar diperoleh beras dengan kualitas baik disimpan dengan kadar air 14 %. Sedangkan gabah yang akan digunakan sebagai benih disimpan dengan kadar air 12 %.
Gabah yang akan disimpan dalam waktu lama harus memiliki kadar air yang lebih rendah. Untuk penyimpanan 4 – 6 bulan gabah harus memiliki kadar air 12 % dan apabila disimpan selama 7 – 12 bulan kadar air gabah 11 %.
Yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan gabah adalah tempat penyimpanan dan wadah yang digunakan untuk mengemas gabah. Gudang atau tempat penyimpanan harus bersih dari kotoran dan hama, dapat melindungi gabah dari hama seperti tikus dan memiliki sirkulasi udara yang baik.
Wadah pengemas dapat menggunakan kemasan karung, kemasan plastik dan kemasan yute. Kemasan harus dapat melindungi gabah dari hama, kerusakan fisik terhadap goncangan dan mudah dipindahkan. Simpan gabah dengan ditata rapi secara bertumpuk dan mendapatkan sirkulasi udara yang baik. Sebaiknya kemasan atau karung disimpan tidak langsung menempel pada dinding karena dapat mempengaruhi kelembaban padi dalam kemasan.
Pencegahan dan pengendalian hama dapat dilakukan dengan cara fumigasi. Penggunaan insektisida jangan langsung disemprotkan pada butiran gabah karena dapat mempengaruhi kualitas gabah.
Gabah yang sudah disimpan jika akan digiling diangin-anginkan terlebih dahulu sebelum digiling untuk menghindari butir beras pecah.

PENUTUP
Sekali lagi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah bukan bersifat teknologi tetapi merupakan suatu pendekatan inovatif dalam usaha meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam usaha usaha tani padi.
Pada prinsipnya PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) lebih bersifat spesifik lokasi dan partisipatif sehingga semua teknis yang telah diuraikan di atas tidak harus mutlak untuk diterapkan di seluruh daerah. Petani di tiap-tiap dengan didampingi tenaga teknis dari instansi terkait dapat memilih sendiri komponen teknologi yang sesuai dengan kemampuan dan kondisi lingkungan setempat.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah diterapkan dalam upaya meningkatkan produktivitas tanaman padi dengan menerapkan efisiensi dan efektifitas dalam usaha tani padi sawah dengan memperhatikan sumber daya alam, kearifan lokal dan kelestarian lingkungan hidup.
Akhirnya supaya penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) dalam budidaya padi sawah dan usaha tani lainnya dapat berjalan dengan baik dan benar maka diperlukan kerjasama dan bimbingan yang intensif dari semua pihak yang terkait demi terwujudnya peningkatan produksi beras nasional dalam menunjang ketahanan pangan dan swasembada beras pada khususnya.
Sumber pustaka :
Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Usaha Tani Padi Dengan Pendekatan PTT, Jakarta : Kementerian Pertanian, 2011
Pusat Penyuluhan Pertanian Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Budidaya Padi, Jakarta : BPSDM Pertanian, 2011
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Petunjuk Teknis PTT Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah, Semarang : Set – BAKORLUH Jawa Tengah, 2010
Penatanian.Blogspot.COM, Tata Cara Penyimpanan, Pengemasan maupun Pelabelan Gabah atau Beras Secara Baik dan Benar, 2011
Sumber foto : blog.ub.ac.id

PENGENDALIAN HAMA PADA TANAMAN PADI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Padi merupakan tanaman pangan yang utama bagi masyarakat Indonesia. Para petani terus berfikir bagaimana tanaman padi dapat mencukukupi kebutuhan pangan rakyat Indonesia yang kian tahun kian meningkat jumlahnya. Di balik itu semua tentu saja ada peluang dan ada pula tantangan nya. Peluangnya yaitu dengan adanya padi yang dikenal dengan mandul jantan yang dapat disilangkan dengan padi jenis lain agar menghasilkan padi hibrida yang hasilnya nanti akan banyak dan mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Tetapi dibalik peluang itu, ada juga tantangan yang harus di lalui para petani padi agar padinya tetap tumbuh dengan baik, salah satunya adalah serangan hama dan penyakit.
Hama dan penyakit tentu saja sangat merugikan bila menyerang suatu jenis tanaman. Hama dan penyakit dapat menurunkan nilai ekonomi suatu tanaman dalam pasaran dan pada akhirnya ada yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Hama dan penyakit ini membutuhkan suatu tindakan untuk mengantisipasi kerusakan yang berarti pada suatu tanaman. Tindakan nya yaitu berupa suatu upaya pengendalian. Pengendalian sendiri ada tiga jenis yaitu, pengendalian biologi, pengendalian kimiawi, dan pengendalian mekanis. Berbeda jenis hama dan penyakit yang menyerang suau tanaman budidaya, berbeda juga cara pengendalian nya. Misalnya untuk hama yang menyerang tanaman padi, hama tikus. Pengendalian yang biasa digunakan para petani selain menggunakam pestisida yaitu dengan membakar lubang sembunyi tikus agar tikus tersebut kabur dan tidak kembali lagi. Untuk lebih lengkapnya, akan dibahas pada makalah ini tentang teknik pengendalian hama pada tanaman padi.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana teknik pengendalian biologis, mekanis, dan kimiawi pada hama dan penyakit yang menyerng tanaman padi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. HAMA PADA TANAMAN PADI
1.1 TIKUS
Tikus sawah (Ratus argentiventer) termasuk hama yang relatif sulit dikendalikan. Perkembangbiakan dan mobilitas tikus yang cepat serta daya rusak pada tanaman padi yang cukup tinggi menyebabkan hama tikus selalu menjadi ancaman pada pertanaman padi. Kehilangan akibat serangan tikus sangat besar, karena menyerang tanaman sejak padi di persemaian hingga menjelang panen. Berkaitan dengan hal tersebut, maka upaya pengendalian untuk menekan populasi tikus harus dilakukan terus menerus mulai dari saat pratanam hingga menjelang panen dengan menggunakan berbagai teknik secara terpadu. Peran serta dan kerjasama masyarakat / kelompok tani, penentu kebijakan dan tokoh masyarakat juga diperlukan selama proses pengendalian hama tikus.
Tikus merupakan salah satu hama utama di Indonesia yang menimbulkan kerugian besar. Di Indonesia, kehilangan hasil akibat serangan tikus sawah diperkirakan mencapai 200.000 – 300.000 ton per tahun. Beberapa cara pengendalian hama tikus telah dilaksanakan oleh para pelaku utama , namun dalam pelaksanaan dilapangan belum ada keterpaduan antara cara yang satu dengan yang lain dan cara penerapannya. Sehingga walaupun sudah dilakukan usaha pengendalian namun masih terjadi kerusakan tanaman yang selanjutnya terjadi kegagalan panen.

1.1.1 Cara Pengendalian Tikus Dilihat dari Siklus Hidupnya
Melakukan pengendalian dengan cara yang tepat pada saat yang tepat sesuai fase kegiatan dalam usahatani padi yang dikaitkan dengan siklus kehidupan tikus.
1)      Saat selepas panen sampai persiapan dan pengolahan tanah
Mengendalikan tikus pada saat selepas panen, karena tikus masih ada didalam gelengan dan sekitar petakan dengan jumlah rata-rata per lubang 25 – 30 ekor tikus, sementara makanan masih tersedia dari sisa panen berupa gabah yang tercecer dan pada tumpukan padi. Pada saat ini, pengendalian yang tepat adalah pengemposan dan gropyokan. Apabila tidak dilakukan pengendalian pada saat selepas panen ini , maka semua tikus yang ada dalam lubang akan tumbuh dewasa dan akan berkeliaran.
2)      Pengolahan tanah
Menjelang pengolahan tanah sebaiknya seluruh lahan dikeringkan, agar tikus yang masih tinggal di petakan dan galengan merasa kehausan. Pada saat itu gabah yang tertinggal dilapangan sudah tumbuh sehingga makanan untuk tikus mulai berkurang. Pengendalian yang tepat pada kondisi ini adalah pengumpanan dan gropyokan dimalam hari.
3)      Pesemaian
Pesemaian sebaiknya dipagar plastik yang dilengkapi dengan bubu perangkap tikus. Bubu perangkap tikus yang berukuran panjang 65 cm, lebar 24 cm dan tinggi 24 cm memiliki kapasitas 20 – 30 ekor/ malam tergantung banyaknya populasi tikus.  Untuk 500 m 2 persemaian cukup dipasang 4 bubu perangkap. Apabila sebelum tanam tidak dilakukan pengendalian, maka pada fase tanam sampai fase berikutnya akan terus terjadi serangan.
4)      Fase Vegetatif
Kondisi tanaman pada fase vegetatif adalah tanaman sudah rimbun/anakan maksimum; galengan kotor; tanaman merupakan makanan bagi tikus; fase awal tikus membuat lubang di galengan. Fase ini merupakan kondisi yang sangat sulit untuk mengadakan pengendalian yang efektif. Upaya pengendalian yang tepat adalah dengan pengumpanan menggunakan klerat dan memakai umpan pembawa “yuyu”, tempatkan umpan pada jalan tikus lewat dan pasang pagar plastik dengan bubu perangkapnya.
5)      Fase generatif dan menjelang panen
Pada fase ini umumnya tikus pada fase beranak dan berada di dalam lubang. Kondisi pada fase generatif adalah makanan sudah tersedia dan galengan semakin kotor. Pengendalian untuk tikus yang sudah menetap dilubang dengan cara pengemposan.
6)      Panen
Apabila padi sudah berisi dan menguning, maka pengendalian yang paling tepat adalah dengan cara pengeringan total. Dalam keadaan kering, tikus akan mengurangi makan dan tikus tidak bisa makan kalau tidak disertai minum. Pengemposan dapat dilakukan untuk mengendalikan tikus yang ada dalam lubang.

Dalam pengendalian hama tikus perlu memperhatikan beberapa hal yaitu:

a) Kedisiplinan para pelaku utama dalam praktek pengendalian sesuai siklus perkembangan tikus.
b) Melaksanakan tanam serempak dan melakukan sanitasi atau kebersihan lingkungan dan mempersempit ukuran tanggul.
c) Jangan mengembangkan sikap masa bodoh dan acuh tak acuh yang kalau melihat lubang tikus atau ada gejala serangan diluar garapan yang dimiliki, karena tikus memiliki daya jelajah semalam bisa mencapai 500 – 1000 m.
d) Perkembangan hama tikus yang sangat cepat. Dari sepasang tikus dalam setahun bisa mencapai 2800 ekor lebih.
e) Jangan membunuh predator seperti ular sawah, burung hantu (Tito alba), burung elang, gagak, musang sawah karena predator ini akan memangsa tikus. Apabila dari awal musim tanam sudah dilakukan pengendalian secara tepat pada saat yang tepat, maka pada fase-fase berikutnya tikus semakin berkurang, sehingga peluang keberhasilan panen semakin besar.
1.1.2 Pengendalian Tikus dengan Pendekatan PHTT
Pengendalian tikus dilakukan dengan pendekatan PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yaitu pendekatan pengendalian yang didasarkan pada pemahaman biologi dan ekologi tikus, dilakukan secara dini, intensif dan terus menerus dengan memanfaatkan semua teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama dan terkoordinasi dengan cakupan wilayah sasaran pengendalian  dalam skala luas.
Kegiatan pengendalian tikus ditekankan pada awal musim tanam untuk menekan populasi awal tikus sejak awal pertanaman sebelum tikus memasuki masa reproduksi. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan gropyok masal, sanitasi habitat, pemasangan TBS dan LTBS. Gropyok dan sanitasi dilakukan pada habitat-habitat tikus seperti sepanjang tanggul irigasi, pematang besar, tanggul jalan, dan batas sawah dengan perkampungan. Pemasangan bubu perangkap pada pesemaian dan pembuatan TBS (Trap Barrier System / Sistem Bubu Perangkap) dilakukan pada daerah endemik tikus untuk menekan populasi tikus pada awal musim tanam.

Kegiatan pengendalian yang sesuai dengan stadia pertumbuhan padi antara lain sebagai berikut:
TBS merupakan petak tanaman padi dengan ukuran minimal (20 x 20)m yang ditanam 3 minggu lebih awal dari tanaman di sekitarnya, dipagar dengan plastik setinggi 60 cm yang ditegakkan dengan ajir bambu pada setiap jarak 1 m, bubu perangkap dipasang pada setiap sisi dalam pagar plastik dengan lubang menghadap keluar dan jalan masuk tikus. Petak TBS dikelilingi parit dengan lebar 50 cm yang selalu terisi air untuk mencegah tikus menggali atau melubangi pagar plastik. Prinsip kerja TBS adalah menarik tikus dari lingkungan sawah di sekitarnya (hingga radius 200 m) karena tikus tertarik padi yang ditanam lebih awal dan bunting lebih dahulu, sehingga dapat mengurangi populasi tikus sepanjang pertanaman.
LTBS merupakan bentangan pagar plastik sepanjang minimal 100 m, dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya secara berselang-seling sehingga mampu menangkap tikus dari dua arah (habitat dan sawah). Pemasangan LTBS dilakukan di dekat habitat tikus seperti tepi kampung, sepanjang tanggul irigasi, dan tanggul jalan/pematang besar. LTBS juga efektif menangkap tikus migran, yaitu dengan memasang LTBS pada jalur migrasi yang dilalui tikus sehingga tikus dapat diarahkan masuk bubu perangkap.
Fumigasi paling efektif dilakukan pada saat tanaman padi stadia generatif. Pada periode tersebut, sebagian besar tikus sawah sedang berada dalam lubang untuk reproduksi. Metode tersebut terbukti efektif membunuh tikus beserta anak-anaknya di dalam lubangnya. Rodentisida hanya digunakan apabila populasi tikus sangat tinggi, dan hanya akan efektif digunkan pada periode bera dan stadium padi awal vegetatif.

1.1.3 Pengendalian Biologis
  • Pengendalian populasi tikus secara biologis yaitu dengan penggunaan predator dan parasit. Predator tikus antara lain anjing, musang, burung hantu, burung elang dan ular. Penggunaan parasit (virus, bakteri, protozoa), sebagai contoh penggunaan Salmonella enteriditis
  • Penggunaan predator anjing yang dilatih sejak umur 2 bulan dan dipandu oleh satu atau dua orang
  • Penggunaan predator alami untuk tikus bisa dilakukan dengan pengembangan tyto alba karena burung ini memiliki indera yang tajam, kemampuan tinggi dalam memangsa. Seekor burung hantu bisa memakan 10 ekor tikus dalam sehari. Sedangkan ular rata-rata hanya 1-2 ekor sehari, hewan menyusui pemangsa daging hanya 3-4 ekor sehari. Burung memiliki laju metobolisme yang tinggi sehingga sangat efektif memberantas tikus.
1.1.4 Pengendalian Kimiawi
  • Penggunaan fumigasi (emposan), yaitu pembakaran belerang dengan jerami akan menghasilkan senyawa SO2 dan Co yang toxic terhadap tikus. Sebaliknya fumigasi dilakukan saat pengolahan tanah dan fase anakan. Tindakan emposan sebaiknya dilaksanakan pada fase bera dan fase generatif
  • Penggunaan umpan beracun (rodentisida), baik dari jenis akut maupun yang kronis(Tabel 2). Penggunaan umpan beracun sebaiknya dilaksanakan pada fase bera dan fase generatif
  • Penggunaan brodifacum, yakni antikoagulan yang dapat membunuh 100% dengan satu kali pemberian
  • Penggunaan umpan dengan komposisi beras 15%, ubi kayu 25%, telur 10%, ubu jalar 3%, kepiting 15%, kelapa 12% .
1.1.5 Pencegahan
Pencegahan masuknya hama tikus ke areal sawah juga sangat penting dalam melindungi tanaman padi Berikut ini adalah beberapa langkah pencegahan dapat menghambat masuknya tikus ke dalam lahan sawah diantaranya penggunaan pagar listrik, penggunaan plastik dan sanitasi.
1. Pagar listrik
Tikus dapat dicegah masuk ke suatu lokasi tanaman dengan cara membuat pelindung dari kawat yang dialiri listrik. Dalam pemasangannnya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak membahayakan manusia.Sehingga dalam hal ini penggunaan arus listrik antara 12 – 24 Volt merupakan alternatif yang baik.Sumber listrik bisa diambil dari accu atau listrik yang diturunkan menggunakan adaptor. Selain aman juga hanya bersifat mengejutkan saja yang pada akhirnya akan membuat tikus jera memasuki areal persawahan.
2. Pemagaran Plastik
Di areal persawahan Jawa Timur dan areal sawah lainnya, banyak dijumpai sawah-sawah yang dipagari dengan plastik. Hal ini bertujuan agar tikus tidak bisa menembus areal persawahan mereka. Namun demikian, penggunaan plastik ini selain mahal juga belum tentu efektif karena bisa saja tikus membuat jalan lubang yang melewati pagar plastik dari bawah. Sehingga perlu diperhatikan pemasangannya agar tikus tidak bisa membuat jalan pintas yang bisa dilalui dibawah plastik.
3. Sanitasi
Tikus adalah binatang yang menyukai tempat kotor dan banyak semak, sehingga wajar bila disekitar sawah yang tidak bersih sering terjadi serangan tikus. Untuk itu, upaya pencegahan masuknya tikus dengan melakukan pembersihan lingkungan adalah cara yang paling efektif. Dengan membersihkan tempat tinggalnya, berarti akan menekan perkembangan populasi tikus, mengusirnya, bahkan meniadakannya sama sekali. Selain beberapa cara diatas, pengaturan pola tanam yang baik juga dapat menjadi salah satu tehnik pengendalian hama tikus.

1.1.6 Tanaman Padi Akibat Serangan Hama Tikus
Merupakan hama prapanen utama penyebab kerusakan terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran rendah dengan pola tanam intensif. Tikus sawah merusak tanaman padi pada semua stadia pertumbuhan dari semai hingga panen (periode prapanen), bahkan di gudang penyimpanan (periode pascapanen).
Kerusakan parah terjadi apabila tikus menyerang padi pada stadium generatif, karena tanaman sudah tidak mampu membentuk anakan baru. Ciri khas serangan tikus sawah adalah kerusakan tanaman dimulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, sehingga pada keadaan serangan berat hanya menyisakan 1-2 baris padi di pinggir petakan.

1.2 WERENG
Wereng coklat merupakan salah satu hama utama tanaman padi. Hama ini telah populer di kalangan petani sejak tahun 1970-an. Wereng coklat merupakan hama global karena bukan saja menyerang pertanaman padi di Indonesia, tetapi juga menyerang pertanaman padi di Cina, Thailand, Vietnam, India, Bangladesh, Malaysia, Filipina, Jepang, dan Korea (Baehaki, 2010). Sejarah serangan wereng coklat terbesar di Indonesia pada kurun waktu 1970-1980 mencapai 2.5 juta ha. Wereng coklat kembali menjadi sorotan di era milenium ini, dengan adanya serangan pada awal tahun 2010 dari mulai rusak ringan sampai puso. Sampai bulan Juni 2010 serangan hama ini mencapai 23.187 ha, termasuk yang puso tidak kurang dari 2.867 ha.
Wereng Coklat masih dianggap hama utama pada tanaman padi. Kerusakan akibat serangan hama ini cukup luas dan hampir terjadi pada setiap musim tanam. Secara langsung wereng coklat akan menghisap cairan sel tanaman padi sehingga tanaman menjadi kering dan akhirnya mati.

1.2.1 Cara Pengendalian Hama Wereng Coklat
1.  Tanam padi Serempak
Pola tanam serempak dalam areal yang luas dan tidak dibatasi oleh admisistrasi dapat mengantisipasi penyebaran serangan wereng coklat karena jika serempak, hama dapat berpindah-pindah ke lahan padi yang belum panen. Wereng coklat terbang bermigrasi tidak dapat dihalangi oleh sungai atay lautan.
 2. Perangkap Lampu
Perangkap lampu merupakan perangkap yang paling umum untuk pemantauan migrasi dan pendugaan populasi serangga yang tertarik pada cahaya, khususnya wereng coklat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan perangkap lampu antara lain, kekontrasan lampu yang digunakan pada perangkap lampu yang terdapat di sekitarnya. Semakin kontras cahaya lampu yang digunakan maka akan luas jangkauan tangkapannya. Kemampuan serangga untuk menghindari lampu perangkap yang dipasang.
Perangkap lampu dipasang pada pematang (tempat) yang bebas dari naungan dengan ketinggian sekitar 1,5 meter diatas permukaan tanah. Lampu yang digunakan adalah lampu pijar 40 watt dengan voltase 220 volt. Lampu dinyalakan pada jam 18.00 sampai dengan 06.00 pagi. Agar serangga yang tertangkap tidak terbang lagi, maka pada penampungan serangga yang berisi air ditambahkan sedikit deterjen.
Keputusan yang diambil setelah ada wereng pada perangkap lampu, yaitu wereng-wereng yang tertangkap dikubur, atau keringkan pertanaman padi sampai retak, dan segera setelah dikeringkan kendalikan wereng pada tanaman padi dengan insektisida yang direkomendasikan.
3.  Tuntaskan pengendalian pada generasi 1
Menurut Baihaki (2011), perkembangan wereng coklat pada pertanaman padi dapat terbagi menjadi 4 (empat) generasi yaitu :
  • Generasi 0 (G0) = umur padi 0-20 HST (hari Sesudah Tanam).
  • Generasi 1 (G1) = Umur padi 20-30 HST, wereng coklat akan menjadi imago wereng coklat generasi ke-1.
  • Generasi 2 (G2) = Umur padi 30-60 HST, wereng coklat akan menjadi imago wereng coklat generasi ke-2.
  • Generasi 3 (G3) = umur padi diatas 60 HST.
Pengendalian wereng yang baik yaitu :
  1. Pada saat generasi nol (G0) dan generasi 1 (G1).
  2. Gunakan insektisida berbahan aktif buprofezin, BPMC, fipronil dan imidakloprid.
  3. Pengendalian wereng harus selesai pada generasi ke-1 (G1) atau paling lampat pada generasi ke -2 (G2).
  4. Pengendalian saat generasi ke-3 (G3) atau puso tidak akan berhasil
4.      Penggunaan Insektisida
  •  Keringkan pertanaman padi sebelum aplikasi insektisida baik yang disemprot atau butiran
  •  Aplikasi insektisida dilakukan saat air embun tidak ada, yaitu antara pukul 08.00 pagi sampai pukul 11.00, dilanjutkan sore hari. Insektisida harus sampai pada batang padi.
  • Tepat dosis dan jenis yaitu berbahan aktif buprofezin, BPMC, fipronil dan imidakloprid.
  • Tepat air pelarut 400-500 liter air per hektar.
1.2.2 Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian Hama Terpadu adalah tehnik pengendalian hama dengan cara menggabungkan beberapa cara pengendalian yang kompatibel.
Demikian juga untuk mengendalikan hama wereng coklat pada tanaman padi kita juga harus menggunakan tehnik-tehnik dalam PHT. Adapun cara tepat mengendalikan hama wereng coklat pada tanaman padi adalah:
  1. Gunakanlah tanaman padi dengan varietas unggul tahan wereng (VUTW) sebagai contoh adalah IR 64, IR 72, IR 74, ciherang, cimelati dll
  2. Pergiliran varietas tanaman padi antar musim. Yang dimaksud pergiliran varietas antar musim adalah menanam varietas tahan saat musim hujan dan menanam varietas kurang tahan saat musim kemarau.
  3. Pergiliran variatas tanaman padi satu musim tanam. Cara ini dilakukan dengan menanam padi yang tahan wereng saat awal musim hujan dan menanam varietas yang kurang tahan (rentan) saat akhir musim hujan.
  4. Menggunakan jamur musuh alami hama wereng coklat sebagai contoh yang sudah biasa dipraktekkan adalah menggunakan jamur Metharizium anisopleae dan jamur Beuveria basiana.
  5. Pengendalian menggunakan musuh alami/ predator (paedorus fuscifes, laba-laba, cooccinella sp, Ophionea nigrofasciata dll). Untuk memanfaatkan predator ini kita harus melakukan pengamatan minimal 1 minggu 1 kali dan gunakan insektisida yang selektif untuk menghindari terbunuhnya musuh alami tersebut.
  6. Penggunaan insektisida yang selektif, jangan sekali-kali menggunakan insektisida dari golongan piretroid sintetik (fastac, matador, decis, sidametrin, dll) karena justru akan meledakkan populasi. Kalau saya boleh merekomendasikan sikahkan gunakan yang mempunyai cara kerja sitemik sebagai contoh fipronil (regent) dan imidakloprit (imidagold, winder dan lain-lain). Bisa juga gunakan yang cara kerjanya unik yaitu menghambat proses ganti kulit sebagai contoh adalah aplaud. Jangan lupa dalam pengaplikasiannya semprotkan pada pangkal batang tanaman padi dengan dosis dan konsentrasi yang tepat.
1.2.3 Gejala Serangan Hama Wereng Coklat

Gejala kerusakan akibat hama wereng coklat antara lain daun-daun berwarna kuning dan pangkal batang berwarna kehitaman. Bila serangan parah maka tanaman akan mengering seperti terbakar (hopperburn). Gejala Serangan Pada padi yang terserang wereng coklat terlihat helaian daun padi yang paling tua berangsur-angsur berwarna kuning. Bila hal itu dibiarkan akan ditandai dengan adanya massa berupa jamur jelaga. Serangan wereng coklat dengan tingkat populasi yang tinggi akan menyebabkan warna daun dan batang tanaman menjadi kuning kemudian berubah menjadi coklat dan akhirnya seluruh tanaman menjadi kering seperti terbakar.
Berbeda dengan serangan hama wereng coklat, serangan penyakit tungro ini disebabkan oleh virus. Penyebaran serangan penyakit ini sangat cepat karena dibantu oleh vektor (serangga penular) yaitu we-reng hijau (Nephotettix virescens dan N. nigropictus). Adapun gejala / tanda kerusakan yang ditimbulkan dari penyakit ini adalah : Gejala serangan awal di lahan biasanya khas dan menyebar secara acak. Daun padi yang terserang virus tungro mula-mula berwarna kuning oranye dimulai dari ujung-ujung, kemudian lama-kelamaan berkembang ke bagian bawah dan tampak bintik-bintik karat berwarna hitam. Bila keadaan ini dibiarkan jumlah anakan padi akan mengalami pengurangan, tanaman menjadi kerdil, malai yang terbentuk lebih pendek dari malai normal selain itu banyak malai yang tidak berisi (hampa) sehingga tidak bisa menghasilkan.

Seperti halnya wereng coklat, penyebaran penyakit ini juga sangat cepat. Cepatnya perkembangan penyakit tungro disebabkan antara lain:
(1)   cepatnya perkembangan serangga penular (wereng hijau).
(2)   masih dilakukannya penanaman bibit padi yang tidak diketahui asal usul dan kesehatannya, terutama dari daerah endemis tungro.
(3)   adanya penanaman varietas tidak tahan tungro yang didu-kung pola tanam tidak teratur.
(4)   para petani masih enggan melakukan pemusnahan (eradikasi) pada tanaman yang terkena serangan tungro akibatnya tanam padi sehat yang lain ikut terkena penyakit ini.

Gagal panen/puso terjadi bila jumlah serangga lebih dari 20 ekor/rumpun, sehingga upaya pengendalian perlu segera dilakukan bila wereng coklat telah mencapai 4 ekor/rumpun pada fase vegetatif, serta 7 ekor/rumpun pada fase generatif (ambang ekonomi).

Tanaman sakit kerdil hampa

Peningkatan populasi wereng coklat didorong oleh :
  1. Perubahan iklim global.
  2. Penanaman varietas padi rentan.
  3. Penanaman padi tidak serempa.
  4. Penggunaan insektisida tidak tepat, baik dari jenis, dosis, waktu dan cara.
  5. Pemupukan tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman;
  6. Banyak varietas rentan (IR42, Cilamaya, hibrida, ketan) sebagai pemicu pertama ledakan wereng coklat
  7. Melemahnya disiplin monitoring sehingga lupa dan meremehkan wereng coklat.

Perlu diketahui :
  • Bila 100 ekor nimfa wereng coklat selama 3 hari berada dalam pertanaman, maka kehilangan hasil mencapai 40%.
  • Bila 200 ekor nimfa wereng coklat selama 3 hari berada dalam pertanaman, maka kehilangan hasil mencapai 70%.
  • Bila 8 imago wereng coklat selama 3 hari berada dalam pertanaman, maka kehilangan hasil mencapai 30%.
  • Bila 16 imago wereng coklat selama 3 hari berada dalam pertanaman, maka kehilangan hasil mencapai 60%.
1.2.4  Mengendalikan Wereng Coklat

1). Dengan teknik budidaya
-      Tanam varietas tahan seperti Memberamo, Mekongga, Ciherang, IR74, Inpari 2, Inpari 3, dan Inpari 6;
-      Pelihara persemaian dan tanaman muda agar tidak terserang wereng coklat;
-      Tanam padi secara serempak dalam suatu wilayah;
-      Gunakan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman, dapat menggunakan BWD (bagan warna daun) sebagai indikator kebutuhan pupuk;
-      Pada saat terjadi serangan, keringkan petakan sawah untuk memudahkan teknis pengendalian
2). Dengan kimiawi
-      Menggunakan insektisida dengan bahan aktif fipronil, bupofresin, amidaklrorid, karbofuran, atau teametoksan.
3). Hayati
-      Menggunakan ekstrak nimba (Azadirachta indica).
4). Mekanis
Deteksi dini dengan menggunakan lampu perangkap, sehingga dengan segera para petani mengetahui kehadiran wereng coklat di pertanaman.
Demikian juga untuk mengendalikan hama wereng coklat pada tanaman padi kita juga harus menggunakan tehnik-tehnik dalam PHT. Adapun cara tepat mengendalikan hama wereng coklat pada tanaman padi adalah:
  1. Gunakanlah tanaman padi dengan varietas unggul tahan wereng (VUTW) sebagai contoh adalah IR 64, IR 72, IR 74, ciherang, cimelati dll
  2. Pergiliran varietas tanaman padi antar musim. Yang dimaksud pergiliran varietas antar musim adalah menanam varietas tahan saat musim hujan dan menanam varietas kurang tahan saat musim kemarau.
  3. Pergiliran variatas tanaman padi satu musim tanam. Cara ini dilakukan dengan menanam padi yang tahan wereng saat awal musim hujan dan menanam varietas yang kurang tahan (rentan) saat akhir musim hujan
  4. Menggunakan jamur musuh alami hama wereng coklat sebagai contoh yang sudah biasa dipraktekkan adalah menggunakan jamur Metharizium anisopleae dan jamur Beuveria basiana
  5. Pengendalian menggunakan musuh alami/ predator (paedorus fuscifes, laba-laba, cooccinella sp, Ophionea nigrofasciata dll). Untuk memanfaatkan predator ini kita harus melakukan pengamatan minimal 1 minggu 1 kali dan gunakan insektisida yang selektif untuk menghindari terbunuhnya musuh alami tersebut.
  6. Penggunaan insektisida yang selektif, jangan sekali-kali menggunakan insektisida dari golongan piretroid sintetik (fastac, matador, decis, sidametrin, dll) karena justru akan meledakkan populasi. Kalau saya boleh merekomendasikan sikahkan gunakan yang mempunyai cara kerja sitemik sebagai contoh fipronil (regent) dan imidakloprit (imidagold, winder dan lain-lain). Bisa juga gunakan yang cara kerjanya unik yaitu menghambat proses ganti kulit sebagai contoh adalah aplaud. Jangan lupa dalam pengaplikasiannya semprotkan pada pangkal batang tanaman padi dengan dosis dan konsentrasi yang tepat.
2. PENYAKIT PADA TANAMAN PADI
2.1 PENYAKIT TUNGRO
Tungro adalah penyakit yang menyerang tanaman padi yang disebabkan oleh virus, merupakan salah satu penyakit penting pada padi karena sangat merusak dan tersebar luas. Di Indonesia, semula semula penyakit ini hanya terbatas di Sulawesi Selatan, tetapi sejak awal tahun 1980-an menyebar ke Bali, Jawa Timur, dan sekarang sudah menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia.
Bergantung pada saat tanaman terinveksi, penyakit tungro dapat menyebabkan kehilangan hasil 5 – 70 %, makin awal tanaman terinveksi makin besar kehilangan hasil yang ditimbulkannya.
Tanaman padi yang terinfeksi biasanya hidup hingga fase pemasakan. Pembungaan yang terlambat bisa menyebabkan tertundanya panen. Malai seringkali kecil, steril dan keberadaanya tidak sempurna. Tanaman tua yang terinfeksi bisa tidak menimbulkan gejala serangan sebelum panen tetapi gejala akan terlihat saat singgang yang tumbuh setelah panen.
Semakin muda umur tanaman yang terserag dan semakin rentang varietas padi maka semakin berat infeksi penyakit virus tungro ini. Tungro adalah penyakit virus padi yang paling penting di Asia Tropika. Serangannya dapat merusak pertanaman yang sangat luas dalam waktu yang singkat.
2.2.1 Penyebab Penyakit dan Penularannya
Tungro disebabkan oleh dua jenis virus yang berbeda yaitu virus bentuk batang Rice Tungro Bacilliform Virus (RTBV) dan virus bentuk bulat Rice Tungro Spherical Virus (RTSV). Kedua jenis virus tersebut tidak memiliki kekerabatan serologi dan dapat menginfeksi tanaman secara bersama-sama. Virus tungro hanya ditularkan oleh wereng hijau (sebagai vektor) tidak terjadi multiplikasi dalam tubuh wereng dan tidak terbawa pada keturunananya. Sejumlah species wereng hijau dapat menularkan virus tungro, namun Nephotettix virescen smerupakan wereng hijau yang paling efisien sehingga perlu diwaspadai keberadaannya. Penularan virus tungro dapat terjadi apabila vektor memperoleh virus setelah mengisap tanaman yang terinfeksi virus kemudian berpindah dan mengisap tanaman sehat tanpa melalui periode laten dalam tubuh vektor.
2.2.2 Gejala Serangan
Secara morfologis tanaman padi yang tertular virus tungro menjadi kerdil, daun berwarna kuning sampai kuning jingga disertai bercak-bercak berwarna coklat. Perubahan warna daun di mulai dari ujung, meluas ke bagian pangkal. Jumlah anakan sedikit dan sebagian besar gabah hampa. Infeksi virus tungro juga menurunkan jumlah malai per rumpun, malai pendek sehingga jumlah gabah per malai rendah. Serangan yang terjadi pada tanaman yang telah mengeluarkan malai umumnya tidak menimbulkan kerusakan fatal.
Tinggi rendahnya intensitas serangan tungro ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya: ketersediaan sumber inokulum (tanaman terserang), adanya vektor (penular), adanya varietas peka dan kondisi lingkungan yang memungkinkan, namun keberadaan vektor yang mengandung virus adalah faktor terpenting. Intensitas penyakit tungro juga dipengaruhi oleh tingkat ketahanan varietas dan stadia tanaman. Tanaman stadia muda, sumber inokulum tersedia dan populasi vektor tinggi akan menyebabkan tingginya intensitas serangan tungro. Ledakan tungro biasanya terjadi dari sumber infeksi yang berkembang pada pertanaman yang tidak serempak.
2.2.3 Pengendalian penyakit
Pada prinsipnya penyakit tungro tidak dapat dikendalikan secara langsung artinya, tanaman yang telah terserang tidak dapat disembuhkan. Pengendalian bertujuan untuk mencegah dan meluasnya serangan serta menekan populasi wereng hijau yang menularkan penyakit. Mengingat banyaknya faktor yang berpengaruh pada terjadinya serangan dan intensitas serangan, serta untuk mencapai efektivitas dan efisiensi, upaya pengedalian harus dilakukan secara terpadu yang meliputi :
1. Waktu tanam tepat
Waktu tanam harus disesuaikan dengan pola fluktuasi populasi wereng hijau yang sering terjadi pada bulan-bulan tertentu. Waktu tanam diupayakan agar pada saat terjadinya puncak populasi, tanaman sudah memasuki fase generatif (berumur 55 hari atau lebih). Karena serangan yang terjadi setelah masuk fase tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.
2. Tanam serempak
Upaya menanam tepat waktu tidak efektif apabila tidak dilakukan secara serempak. Penanaman tidak serempak menjamin ketersediaan inang dalam rentang waktu yang panjang bagi perkembangan virus tungro, sedangkan bertanam serempak akan memutus siklus hidup wereng hijau dan keberadaan sumber inokulum. Penularan tungro tidak akan terjadi apabila tidak tersedia sumber inokulum walaupun ditemukan wereng hijau, sebaliknya walaupun populasi wereng hijau rendah akan terjadi penularan apabila tersedia sumber inokulum.

3. Menanam varietas tahan
Menanam varietas tahan merupakan komponen penting dalam pengendalian penyakit tungro.Varietas tahan artinya mampu mempertahankan diri dari infeksi virus dan atau penularan virus oleh wereng hijau. Walaupun terserang, varietas tahan tidak menunjukkan kerusakan fatal, sehingga dapat menghasilkan secara normal. Sejumlah varietas tahan yang dianjurkan untuk daerah NTB antara lain: Tukad Patanu, Tukad Unda, Bondoyudo dan Kalimas. IR-66, IR-72 dan IR-74. Sejumlah varietas Inpari yang baru dilepas juga dinyatakan tahan tungro. Hasil penelitian di daerah endemis membuktikan Tukad Unda cukup tahan dengan intensitas serangan 0,0%-9,14% sedangkan varietas peka IR-64 berkisar 16,0%-79,1%. Penelitian di Lanrang Sulawesi Selatan juga menunjukkan daya tahan Tukad Patanu terhadap tungro dengan intensitas serangan 18,20% sedangkan varietas peka Ciliwung mencapai 75,7%.
4. Memusnahkan (eradikasi) tanaman terserang
Memusnahkan tanaman terserang merupakan tindakan yang harus dilakukan untuk menghilangkan sumber inokulum sehingga tidak tersedia sumber penularan. Eradikasi harus dilakukan sesegera mungkin setelah ada gejala serangan dengan cara mencabut seluruh tanaman sakit kemudian dibenamkan dalam tanah atau dibakar. Pada umumnya petani tidak bersedia melakukan eradikasi karena mengira penyakit bisa disembuhkan dan kurang memahami proses penularan penyakit. Untuk efektifitas upaya pengendlian, eradikasi mesti dilakukan diseluruh areal dengan tanaman terinfeksi, eradikasi yang tidak menyeluruh berarti menyisakan sumber inokulum.
5. Pemupukan N yang tepat
Pemupukan N berlebihan menyebab-kan tanaman menjadi lemah, mudah terserang wereng hijau sehingga memudahkan terjadi inveksi tungro, karena itu penggunaan pupuk N harus berdasarkan pengamatan dengan Bagan Warna Daun (BWD) untuk mengetahui waktu pemupukan yang paling tepat. Dengan BWD, pemberian pupuk N secara berangsur-angsur sesuai kebutuhan tanaman sehingga tanaman tidak akan menyerap N secara berlebihan.
6. Penggunaan pestisida
Penggunaan pestisida dalam mengendalikan tungro bertujuan untuk eradikasi wereng hijau pada pertanaman yang telah tertular tungro agar tidak menyebar ke pertanaman lain dan mencegah terjadinya infeksi virus pada tanaman sehat. Penggunaan insektisida sistemik butiran (carbofuran) lebih efektif mencegah penularan tungro. Mengingat infeksi virus dapat terjadi sejak di pesemaian, sebaiknya pencegahan dilakukan dengan antara lain tidak membuat pesemaian di sekitar lampu untuk menghindari berkumpulnya wereng hijau di pesemaian dan menggunakan insektisida confidor ternyata cukup efektif. Insesektisida hanya efektif menekan populasi wereng hijau pada pertanaman padi yang menerapkan pola tanam serempak. Karena itu pengendalian penyakit tungro yang sangat berbahaya akan berhasil apabila dilakukan secara bersama-sama dalam hamparan relatif luas, utamakan pencegahan melalui pengelolaan tanaman yang tepat (PTT) untuk memperoleh tanaman yang sehat sehinga mampu bertahan dari ancaman hama dan penyakit. (Lalu Wira Jaswadi)
BAB III KESIMPULAN
.....................

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2012. http://moels.mywapblog.com/solusi-pengendalian-wereng-2.xhtml. diakses pada 20 Mei 2012
Anonymous, 2012. http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/hama-padi/227–tikus-sawah-rattus-argentiventer-rob-a-kloss-. diakses pada 20 mei 2012
Anonymous, 2012. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=tanda-tanda+tanaman+padi+akibat+serangan+wereng&source=web&cd=3&ved=0CFgQFjAC&url=http%3A%2F%2Fmoels.mywapblog.com%2Fsolusi-pengendalian-wereng-1.xhtml&ei=MWW4T83uCMvprQe60pjwBw&usg=AFQjCNEJpuqZ6BC6RurusXddz_4SAIh2Kw. Diakses pada 20 Mei 2012
Anonymous., 2012. http://www.google.co.id/search?sourceid=chrome&ie=UTF-8&q=tanaman+padi+akibat+tikus#q=tanaman+padi+akibat+serangan+hama+tikus&hl=en&prmd=imvns&psj=1&ei=El24T7eLAYuzrAf8lIHzBw&start=10&sa=N&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=561208af145a762&biw=1024&bih=463. Diakses pada 20 Mei 2012
Direktorat Perlindungan Tanaman pangan. 1992. Tikus Sawah. Kerjasama Teknik Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan tanaman Pangan (ATA-162):10 hal.
Indarto, N. 1984. Five year rat control program in Indonesia. In The organization and practice of veterbrate pest control. pp. 475-485.ICI Fern hurst United Kingdom.
Murakami Okimata, Joko priyono and Harsiwi Triastini.1990. Population management of of rice field rat in Indonesia. In Rodent and Rice report and Proceeding of an Expert panel meeting on Rice Rodent Control. IRRI Los Banos.Sept.10-14,1990.
Rochman, Dandi, S., dan Suwulan.1982. Pola perkembangbiakan tikus sawah Rattus argentiventer pada daerah berpola tanam padi-padi di Subang. Penelitian Pertanian 3(2):77-80
Rochman dan S. Dandi. 1991. Pengendalian Hama Tikus. Dalam Buku III Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

--------------------------------------------------------------------
SUMBER:
 http://blog.ub.ac.id/reginapramitha/2012/06/27/4/

Regina Pramitha Puri.

Blog mahasiswa Universitas Brawijaya

------------------------------------------------------------------